Selasa, 10 Juli 2012

Kaidah

Apa yang disebutkan di dalam ayat yang mulia tersebut berupa anjuran mencari pasangan hidup dan menghasilkan keturunan, tidak terlepas dari sebuah kaidah umum yang terdapat dalam agama ini yang mengatakan:
الشَّارِعُ لاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ وَلاَ يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ

“Syariat tidak memerintahkan kecuali kepada sesuatu yang kemaslahatannya murni atau lebih mendominasi, dan tidak melarang kecuali dari sesuatu yang kerusakannya murni atau lebih mendominasi.”

Kaidah ini dibangun di atas dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

Maka tidak ada sesuatupun yang bersifat adil, perbuatan baik, dan menyambung hubungan dengan yang lain, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkannya berdasarkan ayat ini. Juga, tidak satupun perbuatan keji, mungkar yang hubungannya dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan perbuatan zalim terhadap makhluk baik terhadap darah, harta, dan kehormatan mereka melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala melarangnya.

Demikian pula firman-Nya:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

“Katakanlah: ‘Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah): ‘Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya)’.” (Al-A’raf: 29)

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan pokok-pokok (ushul) dari perintah-perintah-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan pokok-pokok (ushul) dari hal-hal yang diharamkan dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

Demikian pula dengan pernikahan, di mana seorang muslim dan muslimah mendapatkan banyak kemaslahatan darinya, berupa pemeliharaan terhadap kehormatan, mencegah dari perbuatan zina, memelihara pandangan, melanjutkan generasi, dan berbagai faedah lainnya yang tidak tersamarkan bagi mereka yang telah melakukannya.

Wallahu a’lam.

Mawaddah dalam Rumah Tangga

Ayat ini menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa di antara hikmah adanya pernikahan antara seorang pria dengan wanita adalah agar dapat mewujudkan perasaan saling mencintai dan saling mengasihi di antara mereka. Hal ini baru dapat terwujud ketika seorang pria menikahi seorang wanita yang pencinta/penyayang terhadap suaminya, serta mewujudkan harapan suaminya dengan mendapatkan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa keturunan dari anak-anak yang shalih dan shalihah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada umatnya untuk menikahi seorang wanita yang dapat mewujudkan mawaddah dan rahmah dalam rumah tangganya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras dari tabattul (mencegah diri untuk menikah). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Nikahilah wanita yang al-wadud dan al-walud, karena sesungguhnya aku berbangga di hadapan para nabi dengan jumlah umatku yang banyak pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, 3/158, Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Bulban, 9/338, no. 4028, Al-Baihaqi, 7/81, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, 5/207. Dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`, 6/195, no. 1783)

Juga diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang memiliki kehormatan, kedudukan, dan harta. Hanya saja dia tidak dapat melahirkan (mandul), apakah boleh aku menikahinya?’ Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya. Lalu ia datang kedua kalinya, dan beliau mengucapkan kalimat yang sama. Ia mendatanginya pada kali yang ketiga, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengucapkan kalimat yang sama. Lalu Ralulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah wanita yang al-wadud dan al-walud, karena sesungguhnya aku berbangga di hadapan para nabi dengan jumlah umatku yang banyak pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Kitab An-Nikah, Bab Fi Tazwij Al-Abkar, no. 2050, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/176, Ibnu Hibban, 9/363, no. 4056. Dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abu Dawud)

Yang dimaksud al-wadud adalah seorang wanita yang sangat pecinta/penyayang terhadap suaminya. Sedangkan makna al-walud adalah wanita yang banyak melahirkan anak. Disebutnya dua sifat wanita yang dijadikan sebagai istri ini adalah karena seorang wanita yang dapat melahirkan anak banyak namun tidak memiliki sifat cinta kepada suaminya, tidaklah menyebabkan kecintaan suaminya terhadapnya. Demikan pula sebaliknya, seorang wanita yang pecinta terhadap suami namun tidak dapat melahirkan anak, dia tidak pula dapat mewujudkan keinginan untuk memperbanyak jumlah umat ini dengan banyaknya orang yang melahirkan.
Dua sifat ini dapat diketahui dari seorang perawan dengan melihat kepada kerabatnya. Sebab, secara umum tabiat mereka saling menyerupai antara satu dengan yang lain. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 6/33-34)

Diriwayatkan pula dari Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِرِجَالِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ، وَالشَّهِيدُ فِي الْجَنَّةِ، وَالصِّدِّيقُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْمَوْلُودُ فِي الْجَنَّةِ، وَالرَّجُلُ يَزُورُ أَخَاهُ فِي جَانِبِ الْمِصْرِ فِي الْجَنَّةِ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالُوا: بَلَى يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: الْوَدُودُ الْوَلُودُ الَّتِي إِنْ ظَلَمَتْ أَوْ ظُلِمَتْ قَالَتْ: هَذِهِ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ لاَ أَذُوقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang para lelaki penduduk surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Nabi dalam surga, syahid (yang mati dalam peperangan) dalam surga, shiddiq (yang sangat jujur) dalam surga, anak yang dilahirkan (meninggal di masa kecilnya) dalam surga, seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah kampung dalam surga. Maukah aku kabarkan kalian tentang wanita ahli surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Wanita yang wadud (pecinta kepada suaminya), wanita yang banyak melahirkan anak, (yang suka kembali kepada suaminya) yang jika dia menzalimi atau dizalimi, maka dia berkata: ‘Diriku ada dalam genggamanmu, aku tidak merasakan tidur hingga engkau ridha (kepadaku)’.” (HR. Ath-Thabarani, 19/140, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 2604)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)


Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
مِنْ أَنْفُسِكُمْ


“Dari jenis kalian.” Yakni dari Bani Adam yang menjadi pasangan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Fathul Qadir)
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا


“Agar kamu merasa tenang dan condong kepadanya.” Sebab jika dari dua jenis yang berbeda, tentu tidak mendatangkan ketenangan bersamanya dan hatinya tidak condong kepadanya. (Tafsir Al-Alusi)
مَوَدَّةً


“Saling mencintai dan mengasihi.” Melalui tali pernikahan, sebagian kalian condong kepada sebagian lainnya, yang sebelumnya kalian tidak saling mengenal, tidak saling mencintai dan mengasihi. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud mawaddah adalah kecintaan seorang suami kepada istrinya. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa beliau menafsirkan mawaddah dengan makna bersetubuh. (Fathul Qadir karya Asy- Syaukani rahimahullah)
وَرَحْمَةً


“Dan kasih sayang.” Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perasaan kasih seorang lelaki kepada istrinya dari tertimpa keburukan. Diriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, beliau mengatakan: “Rahmah adalah anak.” (Fathul Qadir)


Penjelasan Makna Ayat


Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “ ‘Di antara tanda-tanda kekuasaan’ yang menunjukkan rahmat dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya, hikmah-Nya yang sangat agung dan ilmu-Nya yang luas, adalah “Dia menciptakan kalian dari jenis kalian dengan berpasang-pasangan,” yang mereka serasi dengan kalian dan kalianpun serasi dengan mereka. Sesuai dengan bentuk kalian dan kalian sesuai dengan bentuk tubuh mereka. “Agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Allah jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang” sebagai buah dari pernikahan tersebut. Dengan adanya istri, seseorang dapat bersenang-senang dan merasakan kenikmatan, mendapatkan manfaat dengan adanya anak-anak, mendidik mereka, serta merasakan ketenangan bersamanya. Sehingga kebanyakannya, engkau tidak mendapati sebuah kasih sayang dan rahmat yang menyerupai apa yang dirasakan antara suami dan istri. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berpikir. Yang menggunakan pikirannya dan mentadabburi ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala serta berpindah dari satu ayat kepada yang lainnya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)


Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Ia memberi anugerah kepada anak cucu Adam berupa anugerah yang paling agung. Di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka dari jenis dan bentuk mereka berpasang-pasangan. Kalau sekiranya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan pasangan dari jenis lain, tentu tidak akan terjadi kasih sayang, perasaan cinta dan rahmat.” (Adhwa`ul Bayan, 3/213, dalam penafsiran Surat An-Nahl ayat 72)

Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia



Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:


Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.


Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.


Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.


Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.


Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.


Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.


Pasal 35
(1) Suami yang menalak istrinya qobla ad-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.


Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.


Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.


Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.


Wallahu a’lam.

Tidak Disukai Berlebih-lebihan dalam Mahar


‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا


“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud no. 2117 dan selainnya. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1924)


‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih- lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud no. 2106 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)


Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu 'anha dari perbudakan sebagai maharnya seperti tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha ketika menikah dengan Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan haditsnya oleh An-Nasa`i dalam Sunan- nya no. 3340, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih An-Nasa`i.


Tidak ada pula ketentuan jumlah minimal dan maksimal dari sebuah mahar. Hanya saja tidaklah disukai bila mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak laki- laki dan menghambat pernikahan. Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada. Wallahul musta’an.


Seharusnya hal ini menjadi perhatian, agar tidak menuntut mahar yang terlalu tinggi. Toh mahar ini merupakan hak si wanita. Ia yang seharusnya secara pribadi memiliki mahar tersebut. Adapun ayah atau keluarganya yang lain tidak punya hak.


Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Wajibnya Mahar


Dalam pernikahan mahar merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Hal ini tampak dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ


“Kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (An- Nisa’: 24)


Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً


“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)


Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ


“Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ صلى الله عليه وسلم مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ


“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki- laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al- Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)


Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dengan putri beliau Fathimah radhiyallahu 'anha, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah- mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)


Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.