Dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak
akan lepas dari yang namanya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan
ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya
hijab/tabir penghalang).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi
dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no.
1862 dan Muslim no. 3259)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Wanita adalah
fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang bersepi-sepi dengannya. Karena
jiwa-jiwa manusia diciptakan punya kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan
setan akan menguasai mereka dengan perantaraan para wanita.”
Beliau juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang
sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang
memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya.
(Al-Ikmal, 4/448)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Adapun bila
seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah tanpa ada orang
ketiga bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. Demikian
pula bila bersama keduanya hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak
sungkan/tidak merasa malu berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang
masih kecil, seperti anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan
yang semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak
adanya.” (Al-Minhaj, 9/113)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ
ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi
dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi
no. 1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan
wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ
رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ:
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!”
Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda
dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan
Muslim no. 5638)
Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak
laki-lakinya. Makna “Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu,
bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan
bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk
dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri
keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada
pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan
hal itu laki-laki ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita.
(Al-Minhaj, 14/ 378)
Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan
perempuan yang terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan
penanya, sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya
akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad berarti si
wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun bila yang dimaksud
sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru pelamaran atau belum sama sekali,
maka yang ini haram. Tidak boleh dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki
bernikmat-nikmat dengan seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan,
maupun khalwat.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang
wanita sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan
diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda
dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon,
bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya belum
resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya. Lalu apatah lagi orang yang baru
sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun diembel-embeli kata
Islami?
Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari
setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar
bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai
hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita, namun pembicaraan
mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Ketika
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang hal ini, beliau
menjawab, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si
lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan
membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan
budak perempuan yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang
mengantarkan kepada keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad
Shalih Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan bin Abdillah Al- Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki
dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat
telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang laki-laki
berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang
pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari
pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu
dilakukan lewat perantara wali si wanita, maka itu lebih baik dan lebih jauh
dari keraguan/fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan
wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara
mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal –sebagaimana yang mereka
istilahkan– maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan
menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu)
dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada
penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan
laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang
ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).
Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang
berihram melakukan talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits
disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ
الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian,
maka laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul
tangannya.”
Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa
wanita tidak semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa
berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu a’lam.”
(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan,
3/163,164)
Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun
secara langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat
surat?
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa
Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat
dengan seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh
cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan
seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara
dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan
terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan fitnah dan
menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal ini termasuk
perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi
sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan
nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak
melakukan surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan
dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan
kehormatannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi
taufik.”
Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka
jauh dari kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di
dalamnya, apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia,
untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan
fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak
ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya, hingga
membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat
dengannya.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Dalam
surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar,
sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun penanya
mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan
cinta.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- ‘Utsaimin,
2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai
label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari
kebenaran?
Wallahul musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar