Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua
atau wali kala menerima atau menolak pinangan seorang laki-laki terhadap
putrinya. Mereka berargumen, kemapanan calon suami menjadi kunci utama dari
kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan salafus shalih dalam hal
ini?
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ
وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ
وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya
kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak
melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’
no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Abu
Hatim Al-Muzani radhiyallahu 'anhu juga menyampaikan hadits yang sama namun
dengan lafadz sedikit berbeda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ
وَفَسَادٌ
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085, hadits ini derajatnya hasan dengan
dukungan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu di atas)
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak
menyenangkan kami?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan
ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga
kali.
Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits di atas ditujukan kepada para wali, "Apabila datang kepada kalian" yakni
bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang
merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang
baik sisi agama dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian.
"Bila tidak," yakni bila kalian tidak menikahkan orang yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian, malah lebih menyukai lelaki yang
meminang wanita kalian adalah orang yang punya kedudukan/kalangan ningrat,
memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan
yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan
lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian
menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya
selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya
banyak orang terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para
wali, hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian
adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap
kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza
Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)
Kenapa kita bawakan hadits di atas dalam rubrik ini? Ya,
karena tak jarang kita dapati pihak kerabat dari seorang wanita yang punya hak
perwalian terhadapnya mempersulit pernikahan si wanita. Setiap lelaki yang
datang meminang si wanita, mereka tolak bila tidak sesuai dengan kriteria
mereka, walaupun si wanita senang dan mau menikah dengan si pelamar. Kalau
lelaki yang melamar tersebut seorang yang pendosa, terkenal suka bermaksiat,
memang sangat bisa diterima bila wali si wanita menolaknya. Permasalahannya
sekarang, orang yang jelas baik sisi agamanya dan bagus akhlaknya pun ikut
ditolak dengan berbagai alasan. Terhadap para wali yang berlaku demikian, kita
hadapkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia di
atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar